Desember 23, 2024

Semarak News

Temukan semua artikel terbaru dan tonton acara TV, laporan, dan podcast terkait Indonesia di

Perdebatan Hilirisasi Nikel Indonesia: Apakah Akan Bangkit Kembali?

Perdebatan Hilirisasi Nikel Indonesia: Apakah Akan Bangkit Kembali?

Setelah kalah dalam perselisihan dengan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia mengenai Kebijakan Subsidi Mineral Nasional pada bulan Desember 2022, Indonesia menghadapi tantangan terkait dampak dari rencana yang telah berumur satu dekade tersebut. Hal tersebut dinilai tidak signifikan oleh para ekonom, terutama dalam membantu memperkuat industri manufaktur dalam negeri.

Dalam data tersebut, pangsa sektor manufaktur Indonesia dalam menghasilkan devisa negara “turun” menjadi 18,3% pada tahun 2022, terendah dalam satu dekade. Faisal Basri, ekonom senior Institute for Economic and Financial Development (Indef), mengatakan ada kontradiksi dalam hasil yang dijanjikan dalam Rencana Hilirisasi Industri Nikel Nasional yang dicanangkan Presiden Jokowidow.

Proyek Hilir Mineral Indonesia merupakan proyek pengolahan dan pemurnian bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) dan feronikel yang telah berjalan selama satu dekade dan diperkirakan akan memberikan manfaat bagi proses industrialisasi Tiongkok. Sejak Agustus, Faisal dan Presiden Jokowi bentrok soal data penghitungan penerimaan devisa melalui program hilirisasi.

Faisal mengatakan, 99% bijih nikel yang diolah di dalam negeri diekspor ke China. Akibatnya, rencana hilirisasi industri nikel di Indonesia justru mendukung proses industrialisasi Tiongkok dibandingkan membantu mengembangkan sektor manufaktur dalam negeri, sebagaimana dikutip dalam diskusi Indef Agustus lalu. Di luar itu, menjadi perdebatan isu ketahanan sumber daya pertambangan nasional.

Menanggapi kritik tersebut, Presiden Jokowidodo tak tinggal diam. Ia mempertanyakan perhitungan Faisal Basri dengan mencontohkan proyek hilirisasi bijih nikel nasional yang hanya menguntungkan Indonesia.

Saat diwawancarai LRT Dukuh Atas Jakarta, Presiden Jokowi memaparkan data, jika nikel diekspor sebagai bahan mentah, dalam setahun hanya menghasilkan sekitar 17 triliun rupiah. Pada proses hilirisasi, setelah memasuki proses hilir, nilai ekspor industri nikel bisa meningkat hingga Rp 510 triliun. Hal ini tentu akan memberikan nilai tambah bagi industri nikel Indonesia, kata Presiden Jokowi, yang bertolak belakang dengan komentar ekonom senior Indep tersebut.

Sebagai perbandingan, meski nilai ekspor Indonesia mencapai 510 triliun rupiah, namun penerimaan devisa negara melalui pajak seperti PPN, pajak penghasilan badan, pajak penghasilan pegawai, pajak penghasilan badan, royalti pajak ekspor jauh lebih tinggi. Ekspor nikel mentah hanya senilai Rp 17 triliun.

Inkonsistensi data yang disampaikan Presiden Jokowidodo

Angka-angka yang disampaikan Presiden Jokowidodo pada pernyataan sebelumnya tidak sesuai dengan data yang diperoleh Faisal Basri melalui situs resmi Indef. Pada tahun 2014, nilai ekspor nikel mentah dengan kode HS 2604 hanya sebesar Rp 1 triliun. Angka tersebut diperoleh dari nilai ekspor bijih nikel dengan kode HS 2604 senilai USD 85.913 juta dikalikan rata-rata nilai tukar Rp 11.865 per USD 1 pada tahun yang sama.

Pada tahun 2022, nilai ekspor program hilirisasi nasional sektor besi dan baja sebesar USD 27,8 miliar. Jika dikonversikan dengan rata-rata nilai tukar saat itu Rp 14.876 per dolar AS, nilai yang didapat hanya Rp 413,9 triliun.

Bagaimana proyek hilirisasi nikel Indonesia bisa memberikan manfaat bagi industrialisasi Tiongkok?

Saat ini Indonesia menerapkan rezim devisa bebas, yaitu sistem lalu lintas devisa tanpa biaya melalui pengalihan aset dan kewajiban keuangan antar penduduk/penduduk serta aset dan kewajiban luar negeri antar penduduk. Hal ini memungkinkan pemilik aset untuk memindahkan nikel olahan dari proses hilir di Indonesia yang 100% smelternya dimiliki Tiongkok ke Tiongkok, bebas pajak dan biaya. Hal ini tentu saja memberikan keuntungan yang signifikan bagi industrialisasi China dengan memasok nikel olahan dari Indonesia.

Faisal Basri mempertanyakan ke mana seharusnya pendapatan ekspor yang bisa dinikmati Indonesia, sesuai data yang disampaikan Presiden Jokowi tentang manfaat industri nikel, jika Rencana Hilirisasi Nikel Nasional dinilai mampu memberi manfaat bagi perolehan devisa negara. Program hilir.

Melalui skema hilirisasi ini, pemilik smelter mendapatkan akses mewah untuk memanfaatkan sumber daya industri nikel Indonesia. Namun, menurut Survei Pertambangan Indonesia, hilirisasi nikel di Indonesia dianggap “tidak bertanggung jawab” dan hanya 10% keuntungan yang dipulangkan.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap penerimaan devisa negara berkurang menjadi 18,3% selama satu dekade terakhir, membuktikan bahwa program hilirisasi belum berdampak signifikan terhadap sektor tersebut. Namun produk tempa berupa besi dan baja dapat langsung dimanfaatkan sebagai bahan baku industri seperti pesawat terbang, kapal laut, dan mobil, atau digunakan pada peralatan rumah tangga seperti wajan, sendok, garpu, dan pisau.

Hampir separuh ekspor nikel olahan dengan kode HS 72 berbentuk ferroalloy atau feronikel. Nikel masih ada dalam bentuk pig iron dan paduan nikel. Hampir seluruh produk olahan nikel tersebut tidak terus menopang sektor manufaktur nasional, meski ada juga yang melakukannya, namun jumlahnya dinilai tidak signifikan.

Nilai tambah yang diperoleh dari proyek hilirisasi nikel sebagian besar dinikmati oleh pemilik usaha dalam bentuk keuntungan, investor dalam bentuk bunga, pekerja dalam bentuk upah, dan pemilik tanah dalam bentuk sewa. Hal ini berbeda jauh dengan hampir seluruh smelter nikel milik pengusaha China. Belum lagi tax holiday yang mereka dapatkan, bahkan satu sen pun dari keuntungan itu tidak akan dipulangkan.

Pembangunan smelter nikel di Indonesia hampir 100% bergantung pada bank-bank Tiongkok dan hampir seluruh pendapatan bunga kembali ke bank tersebut. Tenaga profesional mereka seperti juru masak, petugas keamanan, ahli statistik, dan pengemudi juga berasal dari Tiongkok. Selain itu, banyak pekerja mereka yang menggunakan visa pengunjung dibandingkan visa kerja, sehingga menyebabkan kerugian bagi pemerintah sebesar USD 100 per pekerja per bulan dalam kontribusi pekerja. Rata-rata pekerja Tiongkok digaji antara Rp17 juta hingga Rp54 juta. Namun upah pekerja Indonesia sangat rendah, biasanya berada pada kisaran upah minimum. Dengan status visa pengunjung, pekerja Tiongkok di smelter tidak membayar pajak penghasilan.

Meski pemilik smelter juga membayar pajak bumi dan bangunan, namun nilainya sangat kecil dibandingkan keuntungan yang dihasilkannya. Mereka mendapatkan nikel mentah Indonesia dengan harga yang sangat murah. Faisal Basri mengungkapkan, pemerintah sangat liberal dalam mematok harga bijih nikel jauh lebih rendah dibandingkan harga internasional.

Singkatnya, tidak ada ahli yang menyangsikan peleburan nikel berpotensi menciptakan nilai tambah yang tinggi bagi industri nikel Indonesia. Namun, masih ada pertanyaan: Siapa yang diuntungkan dari nilai tambah tersebut?