Juli 27, 2024

Semarak News

Temukan semua artikel terbaru dan tonton acara TV, laporan, dan podcast terkait Indonesia di

Mengkaji Kembali Kebijakan Hilirisasi Nikel Indonesia

Mengkaji Kembali Kebijakan Hilirisasi Nikel Indonesia

Penulis: Mangi Habir, ISEAS–Yusof Ishak Institute

Keputusan Tesla untuk memulai produksi mobil listrik (EV) di negara tetangga Malaysia merupakan pukulan terhadap upaya Indonesia. Kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia bertujuan untuk memanfaatkan cadangan nikel dan produksi bijih nikel yang besar untuk memberikan nilai tambah dengan mengolah bijih mentah menjadi produk antara nikel bermutu tinggi. Bahan antara nikel berkualitas tinggi ini merupakan komponen penting yang digunakan dalam pembuatan baterai EV berbasis baja tahan karat dan nikel kobalt mangan (NCM).

Dalam menarik investasi, kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia telah membuahkan hasil. Pada tahun 2020, Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah untuk menarik investasi, sebagian besar di pabrik peleburan nikel. Setelah setahun, Negara menerima Investasi dan komitmen hilir oleh perusahaan-perusahaan Tiongkok berjumlah sekitar US$30 miliar. Pada Juli 2023, sudah ada di sana Sebanyak 43 smelter nikel telah beroperasi, 28 smelter sedang dibangun, dan 24 smelter dalam tahap perencanaan.

Indonesia mengolah bijih nikel laterit melalui dua metode peleburan. Metode yang sangat cocok untuk bijih nikel Indonesia adalah dengan menggunakan pengolahan pirometalurgi (Kelas 2) untuk kadar nikel kadar rendah untuk menghasilkan pig iron nikel, yang merupakan komponen kunci dalam produksi baja tahan karat. Perlakuan lain (Kelas 1) untuk nikel bermutu tinggi memerlukan proses pelindian asam bertekanan tinggi (HPAL) untuk menghasilkan deposisi hidroksida campuran (MHP) yang digunakan dalam katoda baterai lithium-ion NCM. Sebagian besar investasi peleburan ditujukan untuk produksi katoda baterai nikel NCM bermutu tinggi Kelas 1, yang didorong oleh meningkatnya permintaan baterai kendaraan listrik.

Namun tren baru-baru ini dari produsen kendaraan listrik besar, termasuk Tesla, yang beralih dari penggunaan nikel ke litium-besi-fosfat (LFP) sebagai sumber baterai kendaraan listrik mereka patut mendapat perhatian. Mineral-mineral ini sudah tersedia dan hemat biaya. Jika perubahan ini terjadi secara luas, hal ini dapat berdampak buruk terhadap proyek-proyek hilir yang ambisius di Indonesia.

READ  Lexus Indonesia mewujudkan inisiatif hijaunya melalui makanan – makanan yang ramah lingkungan

Untuk menilai dampak peralihan produsen kendaraan listrik dari baterai NCM ke LFP terhadap industri nikel di Indonesia, ada gunanya membandingkan kedua jenis baterai ini. Menurut laporan terbaruBaterai LFP lebih murah, sekitar US$12 per kWh karena mineral yang digunakan lebih melimpah dan lebih mudah diakses.

Namun baterai LFP memiliki beberapa kelemahan dibandingkan pesaing NCM mereka. Kelemahannya adalah jangkauan mengemudinya yang terbatas (Sepertiga diperkirakan lebih sedikit), terutama terlihat karena rendahnya kepadatan daya LFP dalam cuaca dingin. Kelemahan lainnya adalah nilai daur ulangnya yang rendah. Ketika biaya diperhitungkan dalam perhitungan, kesenjangan harga antara baterai NCM dan LFP dapat menyebabkan permintaan baterai NCM lebih rendah dari perkiraan awal.

Industri hilir nikel di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup besar. Pertama, terdapat kebutuhan untuk secara efektif mengurangi dampak lingkungan yang disebabkan oleh penggundulan hutan untuk membuka lokasi tambang, gangguan terhadap masyarakat lokal, dan pengelolaan limbah tambang beracun yang tidak aman. Industri sangat bergantung pada batu bara untuk sebagian besar kebutuhan listriknya bagi pabrik peleburan.

Kedua, ketergantungan negara yang berlebihan terhadap Tiongkok dalam hal investasi dan akses pasar merupakan hal yang mengkhawatirkan. 90 persen fasilitas pemrosesan nikel di negara ini didominasi oleh perusahaan Tiongkok. Pemain kuncinya termasuk Tsingshan Holding Group, Zhejiang Huayou Cobalt, Ningbo Lygend (bagian dari CATL Group), Wuling Motors dan China Molybdenum Company. Namun meningkatnya kehadiran perusahaan-perusahaan besar Korea Selatan seperti Hyundai Motors, LG Energy dan SK, serta Foxconn dari Taiwan, sebagian melemahkan dominasi Tiongkok.

Ketiga, adanya kebingungan yang timbul akibat adanya pengawasan ganda terhadap industri oleh dua kementerian. Operasi penambangan diawasi oleh Kementerian Energi, sedangkan Kementerian Perindustrian bertanggung jawab mengawasi tahap hilir pengolahan bijih. Kedua kementerian ini menafsirkan dan menegakkan kebijakan terkait secara berbeda dari waktu ke waktu. Kebijakan bottom-up di Indonesia memerlukan koordinasi dan pemahaman yang erat antara kedua kementerian, yang terkendala oleh perbedaan tujuan di masa lalu.

READ  Forum online BASAbali Indonesia memberdayakan aktivis pemuda

Pemerintahan baru tahun 2024 akan menghadapi beberapa pertimbangan kebijakan. Jika peralihan ke baterai LFP yang lebih hemat biaya terjadi, Indonesia perlu mempertimbangkan kembali kombinasi antara kapasitas dan investasi dalam pemrosesan nikel Kelas 1 dan Kelas 2. Hal ini berarti lebih fokus pada produksi dan investasi pada pig iron nikel kadar rendah untuk produksi baja tahan karat.

Indonesia harus mempertimbangkan untuk beralih dari larangan ekspor nikel, seperti yang diterapkan pada batu bara dan minyak sawit, ke skema kewajiban pasar domestik (domestic market obligasi/DMO) yang lebih fleksibel. Pemerintah dan industri sudah familiar dengan skema ini, sehingga implementasinya akan mudah. Seiring berjalannya waktu, seiring dengan semakin matangnya entitas pemerintah, investor jangka panjang dapat mempertimbangkan beberapa bentuk jaminan pasokan dan harga kelompok bijih mentah.

Keberhasilan kebijakan hilirisasi nikel salah satunya disebabkan oleh fakta bahwa Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia yang memiliki cadangan besar. Hal ini mungkin tidak berlaku untuk mineral dan bahan lainnya, dan harus digunakan dengan sangat hati-hati di berbagai bidang.

Indonesia harus memprioritaskan kebijakan bottom-up di bidang-bidang yang berdampak luas terhadap usaha kecil dan penciptaan lapangan kerja. Hal ini sangat penting jika negara tersebut ingin memanfaatkan dividen penduduknya, yang akan berakhir pada tahun 2040.

Mangi Habir adalah Visiting Fellow di ISIAS–Yousef Ishaq Institute, Singapura.