Banyak presiden seperti Sukarno, Soeharto atau Megawati Sukarnoputri pernah mempunyai keyakinan serupa. Mereka pernah dipandang sebagai sosok yang akan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan yang dialaminya.
Namun, seiring berjalannya waktu, para pemimpin tersebut tidaklah sempurna. Sejarah mereka mempunyai noda-noda yang kerap mengecewakan bangsa ini Pindah Dari sikap memuji pemimpinnya. Kami sangat percaya pada Presiden. Meski mereka manusia biasa, namun mereka seolah menjadi individu yang bisa membebaskan kita dari segala hal.
Baca Juga: Bangsa dan Pemimpin yang Layak Diperoleh
Selain itu, waktu harus berlalu dan kepemimpinan mereka harus berlalu. Negara ini harus terus melahirkan pemimpin di berbagai tingkatan. Jika demokrasi berjalan dengan baik, Bengawan bahkan bisa mendapatkan pemimpin dari pinggiran negeri, seperti bantaran Sungai Solo. Artinya, setiap insan bangsa ini harus berani memimpin nasib negara ini dan tidak hanya mempercayakan pada presiden saja.
Dalam banyak hal, negara ini sudah lama meyakini bahwa hidup kita ditentukan oleh dunia spiritual (Yang Maha Kuasa, Tuhan, Allah atau para Dewa), sehingga perjuangan hanya dilimpahkan ke pundak para pemimpin yang dianggap sebagai penyelamat dari Tuhan.
Di dalam buku orang Indonesia, Mokhtar Lupis mengatakan salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah takhayul. Ia menulis, “Dengan demikian, seluruh masyarakat Indonesia merasa bahwa jika mereka telah mendiskusikannya, memutuskannya, dan menyatakan keinginannya untuk melakukan sesuatu, maka telah terjadi” (Lupis, 2001: 29).
Begitu pula dalam pemilu. Keputusan memilih Presiden dan Wakil Presiden seolah menjadi solusi atas segala persoalan. Jadi, setiap kali ada masalah di negeri ini, “Presiden yang disalahkan!” Pemilu tampaknya menyelesaikan semua masalah dan kita duduk santai dan menikmati hasilnya.
Sejarah mereka mempunyai noda-noda yang kerap mengecewakan bangsa ini Pindah Dari sikap memuji pemimpinnya.
Kita kehilangan semangat pejuang ketika setiap individu menyadari bahwa dirinya harus menjadi penyelamat bangsanya. Dalam bukunya, Madlog, Don Malaka menyebut fenomena ini sebagai logika mistik, kecenderungan untuk selalu mengasosiasikan hal-hal duniawi dengan roh. Manusia pada akhirnya terjerumus pada keyakinan bahwa pengetahuan ada batasnya. Manusia tidak bisa berpikir dalam batas tersebut. Memang benar pengetahuan baru menimbulkan masalah baru, namun solusi baru juga akhirnya menjadi masalah lagi (Don Malaga, 1942).
Hal ini menjadikan bangsa ini lemah, bukannya kuat. Akibatnya kita tidak rajin membela dan memperjuangkan keyakinan kita (Lubis, 2001: 34).
Tren ini patut didorong agar bangsa Indonesia terlahir sebagai individu yang mampu berjuang. Dengan demikian, manusia harus berpikir kritis untuk menghadapi setiap tantangan yang muncul, bukan malah cenderung menyerahkan tanggung jawab ke tangan Tuhan atau ke tangan orang lain.
Percaya dan berjuang
Dalam sejarah filsafat, kecenderungan keyakinan buta ini telah mengikis masyarakat sebelumnya. Pemikir di baliknya adalah Ludwig Feuerbach yang eksistensialis, yang berpendapat bahwa manusia sering kali menjadi pencipta Tuhan. Mereka menganggap Tuhan memiliki semua sifat kemahakuasaan, supremasi, keagungan, dan kebaikan yang tak terbatas.
Hal ini menjadikan laki-laki lemah karena menganggap tidak perlu bekerja keras untuk mencapai kebaikan. Mereka berpikir, “Semoga Tuhan mengampuni, manusia harus melakukan upaya biasa!”
Salah satu kritik ditujukan untuk mengakui bahwa sifat-sifat ketuhanan pasti ada dalam diri manusia. Artinya, “Kesadaran akan Allah adalah kesadaran diri, pengetahuan akan Allah adalah pengetahuan diri” (Feuerbach, 2008, 147).
Pemikiran ini dalam arti tertentu dilanjutkan oleh filsuf eksistensialis lainnya, Friedrich Nietzsche. Übermensch Atau konsep Superman. Dia menyebutkannya dalam karyanya Demikianlah ucapan Zarathustra. Dia membandingkan konsep ini dengan “orang yang lelah” atau “orang terakhir” (Pria terakhir) yang hidup tanpa semangat dan cenderung patuh.
Übermensch Asumsinya adalah manusia mengendalikan nasibnya sendiri. Mereka tidak menjadi manusia yang mempercayakan nasibnya hanya kepada Tuhan atau pemimpin atau pihak di luar dirinya, melainkan bergantung pada dirinya sendiri.
Baca Juga: Pemilu 2024 dan Kepemimpinan Nasional
Dengan demikian, manusia berubah dari individu yang pasif menjadi aktif, dari yang mengagumi ciptaan Tuhan atau orang lain menjadi yang berani mengambil risiko untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Mereka adalah manusia super yang melampaui orang lain.
Sederhananya, dia lebih memilih berjuang untuk membantu orang lain daripada membiarkan Tuhan atau orang lain berjuang untuknya. Hal ini serupa dengan pepatah, “Angkat tangan ke atas lebih baik daripada tangan ke bawah.”
Bukankah pemikiran ini asing bagi banyak masyarakat Indonesia saat ini? Ada anggapan bahwa menerima hasil jerih payah orang lain atau hasil jerih payah Tuhan itu menyenangkan dan patut diterima.
Rasa harga diri sebagai individu yang berjuang karena kecenderungan kita menganggap diri kita adalah manusia biasa, sedangkan Tuhan melampaui segala keterbatasan. Kita dibunuh oleh imajinasi kita sendiri.
Semangat juang tersebut digambarkan Saril Anwar dalam judulnya “Tiponegoro”. Salah satu kalimatnya berbunyi, “Kalau sudah mati, silakan saja.” Jika tidak hati-hati, orang yang tidak pernah memaksakan diri pada akhirnya akan mati tanpa menjadi berarti.
okultis Indonesia
Keengganan untuk berpisah dari sosok yang bisa dipercaya sebagai penyelamat merupakan suatu kecenderungan yang masuk akal jika dilihat dari sudut pemikiran di atas. Di satu sisi, hal ini mungkin merupakan apresiasi positif terhadap kelangsungan hidup bangsa, namun di sisi lain keengganan tersebut merupakan wujud nyata dari kecenderungan untuk sekedar menikmati karya orang lain.
Lalu bagaimana manusia super di Indonesia bisa ada? Pada awal abad ke-20, medan pertempuran menjadi bukti nyata lahirnya banyak aktivis kemanusiaan Indonesia. Saat itu terjadi dua fakta yang melahirkan individu-individu berjuang yang tidak percaya pada orang lain namun berani berdiri dan bergerak bersama, sehingga disebut sebagai masa kebangkitan nasional.
Pertama, realitas kolonialisme yang sangat kental di kalangan warga negara. Perasaan ini semakin kuat, novel menjadi salah satu alasannya Max Havelar Tulisan Multatuli menceritakan bagaimana pengalaman kolonial di negeri ini tercipta dan pengalaman tersebut bukan milik satu atau dua orang, melainkan milik banyak orang. Pengalaman ini menjadi bagian dari rasa kebangsaan.
Pada awal abad ke-20, medan pertempuran menjadi bukti nyata lahirnya banyak aktivis kemanusiaan Indonesia.
Kedua, lahirnya politik etis yang memberikan pembelajaran modern kepada masyarakat Indonesia melahirkan para pemikir kritis. Mereka tidak menunggu orang lain untuk mengambil tindakan, tapi bergerak dengan cara mereka sendiri.
Gerakannya dengan membentuk berbagai organisasi seperti Boedi Oetomo, Indische Partij dan Syarikat Islam. Pergerakan di dunia media oleh Tirto Adi Sorjo, Sovardi Sorjaningrad dan berbagai lainnya. Gerakan dalam dunia pendidikan oleh Ki Hadjar Devandara dan lain-lain. Gerakan melalui Zhang Jawa, Zhang Celebs dan organisasi kepemudaan lainnya merupakan gerakan yang lahir dari orang-orang yang berani melakukan sesuatu.
Mereka tidak sekadar menunggu Tuhan memberi mereka kebebasan. Mereka tidak menunggu negara lain untuk menyelamatkan mereka atau memberi mereka manfaat. Mereka memperjuangkan harkat dan martabat bangsanya sendiri.
Apakah tidak ada risikonya? Mereka dipenjarakan, diasingkan, dipisahkan dari keluarga mereka, dan mati demi perjuangan. Namun, apa risikonya dibandingkan dengan apa yang bisa diperjuangkan dalam hidup? Ada rasa bangga yang muncul dari semangat kemandirian mereka.
Bung Gesil, Sudan Szahrir, dengan berani menyatakan, “Hidup tanpa bahaya tidak pernah menang.” Don Malaga berkata, Bertabrakan, Bertabrakan, Bertabrakan, lalu Ciptakan. Konflik bukanlah sesuatu yang patut disesalkan bagi mereka yang siap berperang. Konflik merupakan hal yang sepele bagi seseorang yang ingin menjadi manusia super Indonesia.
Sekarang adalah saat yang tepat untuk mengakui bahwa logika mistik mempengaruhi cara berpikir, bertindak dan berperilaku bangsa kita. Tampaknya hanya sedikit yang mampu memperjuangkan bangsa ini, sementara sebagian lainnya memilih fokus pada kepentingan dan misi pribadinya.
Teori Tuhan Feuerbach atau Pandangan Nietzsche Übermensch Bertujuan untuk membangkitkan jiwa yang dalam keadaan stasis dan tidak mau bergerak. Semakin banyak orang harus berkumpul di negara ini untuk mencapai tujuan tertentu. Seperti di awal abad ke-20, kita didorong oleh impian akan kebebasan; Selama bertahun-tahun, kami didorong oleh impian untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
Baca Juga: Impian Emas Indonesia
Tidak peduli siapa presidennya, semua orang tetap harus berjuang. Medan pertempuran kita mungkin memang di bidang politik, namun ada juga medan pertempuran di dunia akademis. Ada guru yang berjuang untuk menjadi guru yang lebih baik, mendidik manusia merdeka yang berani berjuang.
Ada juga medan pertempuran di dunia seni di mana orang-orang memperjuangkan seni bangsa kita agar setara dengan standar dunia. Dan ada medan pertempuran di dunia perbankan di mana masyarakat berjuang demi kesejahteraan berbagai pihak.
Dunia IT (Informasi dan Teknologi) juga mempunyai semangat juang. Banyak pihak yang berupaya mengembangkan industri ini sebagai media pengembangan ekonomi dan generasi pengetahuan bagi banyak warga negara ini.
Jumlahnya dapat ditambah dan medan pertempuran dapat disesuaikan dengan medan pertempuran masing-masing. Inilah saatnya untuk mengakui perjuangan ini sebagai perjuangan kita masing-masing.
Bangsa ini telah diwariskan kepada kita sebagai bangsa yang merdeka dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Bangsa yang sama kini berada dalam lindungan kita, dengan harapan dapat kita wariskan kepada generasi penerus sebagai bangsa yang lebih baik. Oleh karena itu, setiap individu bukan hanya sekedar penonton dan konsumen di bangsa ini. Setiap individu berjuang untuk kesejahteraan bangsa di bangsa ini.
Sudan Szahrir meninggalkan pesan penting, “Kemerdekaan nasional bukanlah pencapaian tertinggi, tetapi pencapaian tertinggi adalah menciptakan kebebasan rakyat.” Masing-masing dari kita adalah bangsa Indonesia yang super, maka marilah kita berkarya untuk negeri ini.
Martinus Joco Lelono, Dosen Universitas Sanatha Dharma Yogyakarta
Instagram: mjokolelono
“Penggemar perjalanan. Pembaca yang sangat rendah hati. Spesialis internet yang tidak dapat disembuhkan.”
More Stories
Ringkasan: Anantara Resort di Indonesia; Tampa Hyatt sedang bergerak
Telin dan Indosat bermitra untuk meningkatkan konektivitas Indonesia dengan ICE System 2
Vaisala akan memodernisasi 14 bandara di Indonesia