Selama dua dekade terakhir, hutan lahan gambut di Sumatera telah mengalami penurunan yang signifikan, kehilangan sekitar. 3 juta hektar Laju deforestasi rata-rata tahunan adalah 150 ribu hektar. Kerugian ini terutama disebabkan oleh penebangan hutan, konversi hutan menjadi perkebunan komersial, drainase untuk pertanian dan penggunaan api untuk membuka lahan. Secara kolektif, faktor-faktor ini telah memicu degradasi lahan gambut, menyebabkan kebakaran berulang, peningkatan emisi karbon, degradasi habitat, dampak buruk terhadap kesehatan dan kerugian ekonomi.
Pada tahun 2015, kebakaran hutan dan lahan gambut yang dahsyat menginspirasi pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan progresif guna memulihkan dan melindungi ekosistem penting ini. Komitmen ini terlihat dari terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRGM) pada tahun 2016 untuk memperkuat kebijakan dan kelembagaannya. Kemudian berganti nama. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove Pembentukan badan ini merupakan upaya bersama pemerintah untuk mengatasi permasalahan lingkungan. Untuk periode 2016 hingga 2020, badan tersebut menetapkan target restorasi sekitar 2,4 juta hektar. Kemudian pada tahun 2021 hingga 2024, BRGM menargetkan restorasi lahan seluas 1,2 juta hektare.
Pemerintah sedang merekrut Tiga strategi Untuk restorasi lahan gambut: pembasahan, revitalisasi dan revitalisasi. Pembasahan kembali melibatkan pembuatan sekat kanal dan penggalian sumur. Penanaman kembali kayu keras mencakup penanaman pohon muda untuk menjaga kelembaban lahan gambut dan menjaga sirkulasi air di ekosistem lahan gambut. Sementara itu, upaya revitalisasi perekonomian masyarakat berupaya mengurangi ketergantungan terhadap pembukaan dan pengeringan lahan gambut.
Hampir delapan tahun setelah dimulainya kebijakan dan program restorasi lahan gambut, beberapa penelitian menunjukkan bahwa implementasinya masih terbatas dan gagal membalikkan degradasi lahan gambut sepenuhnya. Penelitian yang dilakukan Pantau GambutSebuah jaringan penelitian dan advokasi yang berfokus pada konservasi lahan gambut mengungkapkan bahwa kawasan yang diperuntukkan bagi restorasi lahan gambut di berbagai wilayah masih rentan terhadap kebakaran, meskipun ada intervensi baru-baru ini.
Menggemakan temuan ini, penyelidikan lain Perdamaian hijau Hampir sepertiga unit hidrologi lahan gambut di tujuh provinsi prioritas restorasi lahan gambut mengalami kerusakan parah. Kerusakan ini terutama ditandai dengan luasnya lahan budidaya, banyaknya kanal dan pemberian banyak konsesi, terutama untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu pulp.
Tantangan lainnya terletak pada ketidakselarasan antara tujuan revitalisasi ekonomi masyarakat lokal dan restorasi lahan gambut. Di banyak tempat, aktivitas ekstraktif seperti penebangan kayu dan pertanian skala besar terus berlanjut, sehingga meningkatkan degradasi lahan gambut melalui praktik drainase. Studi yang dilakukan di Gelisah Laporan ini mengidentifikasi penolakan masyarakat terhadap inisiatif restorasi, khususnya pembangunan tanggul kanal, yang dianggap bertentangan dengan kepentingan lokal, termasuk penggunaan air untuk pertanian dan kebutuhan transportasi.
Sebuah penelitian yang dilakukan di Kayu Lapu, Sumatera Selatan, petani lokal menunjukkan pemilihan produk yang bijaksana dan sesuai dengan pertimbangan sosio-ekonomi rumah tangga, meskipun bertentangan dengan tujuan keberlanjutan jangka panjang. Studi ini menemukan bahwa margin keuntungan yang terkait dengan kelapa sawit dan karet lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman “pertanian bantuan” alternatif yang dipromosikan dalam upaya restorasi yang dipimpin oleh pemerintah. Selain manfaat ekonomi, faktor-faktor lain seperti efek pengganda, peningkatan produktivitas, dan peningkatan akses pasar berkontribusi terhadap popularitas komoditas ini di kalangan petani.
Di dalam Kampung Punsur, Riau, program revitalisasi ekonomi masyarakat berupaya mengembangkan industri sagu di lahan gambut. Meskipun terdapat pembangunan pabrik penyulingan sagu, upaya ini masih jauh dari harapan. Penyebabnya bermacam-macam, antara lain kurangnya kesabaran anggota kelompok tani, tidak memadainya jaminan keamanan, dan tidak konsistennya ketersediaan pembeli. Akibatnya, keanggotaan kelompok pertanian menurun secara signifikan.
Temuan-temuan ini menggarisbawahi kesenjangan antara program rehabilitasi yang disponsori pemerintah dan kebutuhan nyata mata pencaharian masyarakat setempat. Ketegangan yang kompleks dalam masyarakat lokal yang mendiami lahan gambut sering kali diabaikan atau disalahpahami oleh para pembuat kebijakan, donor, atau kelompok konservasi yang mempunyai niat baik. Kegagalan memahami dinamika sosio-ekonomi lokal dan pendorong di balik praktik penggunaan lahan masyarakat menjadikan intervensi restorasi eksternal tidak efektif.
Temuan-temuan ini menggarisbawahi pentingnya menyelaraskan prioritas program rehabilitasi dengan kondisi aktual masyarakat lokal. Jika hutan lahan gambut masih utuh, terdapat kemungkinan yang menjanjikan untuk meningkatkan pengakuan dan akuntabilitas masyarakat adat melalui program pengelolaan hutan secara teratur. Namun, dalam konteks di mana praktik subsisten ekstraktif masih berlaku, seperti yang lazim dilakukan saat ini, pembentukan “jalur transisi” menjadi sangat penting. Jalur-jalur ini memerlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, kelompok masyarakat sipil, donor, dan investor untuk memaksimalkan keuntungan jangka panjang, memastikan keamanan kepemilikan, dan meningkatkan kapasitas lokal untuk memilih usaha pertanian di lahan gambut yang direstorasi.
Penting untuk diketahui bahwa perubahan ini membutuhkan kesabaran dan pengertian, dan pertimbangan yang cermat harus diberikan dalam menentukan waktu ketika mengembangkan kebijakan dan rencana restrukturisasi untuk mencegah intervensi berkala. Selain itu, kebijakan dan program tersebut harus mempertimbangkan keunikan ekosistem lokal dan mengadaptasi teknologi eksternal untuk meningkatkan kapasitas jangka panjang yang melekat pada masyarakat lokal.
Pada akhirnya, sistem mata pencaharian lokal harus menjadi pedoman dalam kebijakan dan program restorasi lahan gambut, memastikan bahwa hasil yang berkelanjutan sejalan dengan kepentingan rasional masyarakat. Hal ini melibatkan keterlibatan aktif, mendengarkan dan memberdayakan masyarakat pedesaan yang sudah lama terpinggirkan sebagai pengambil keputusan utama terkait lahan gambut mereka. Dengan mengintegrasikan tujuan, kebutuhan dan keahlian mereka, hasil konservasi yang lebih efektif dan penghidupan berkelanjutan dapat dicapai.
More Stories
Ringkasan: Anantara Resort di Indonesia; Tampa Hyatt sedang bergerak
Telin dan Indosat bermitra untuk meningkatkan konektivitas Indonesia dengan ICE System 2
Vaisala akan memodernisasi 14 bandara di Indonesia