Bangladesh dan Indonesia dapat diharapkan Untuk segera menandatangani Preferential Trade Agreement (PTA) bilateral. Pada 28 Januari 2018, kedua negara membentuk Trade Negotiating Committee (TNC) yang menggelar tiga kali pertemuan, dan pertemuan keempat dijadwalkan berlangsung di Indonesia bulan depan. Debat terakhir kemungkinan akan terjadi pada pertemuan berikutnya, yang diharapkan dapat mengakhiri negosiasi undang-undang antiterorisme.
PTA adalah perjanjian perdagangan sederhana antara dua atau lebih negara yang mencakup pengurangan terbatas atau penghapusan tarif atas barang-barang tertentu. Namun, negosiasi PTA seringkali melibatkan tindakan penyeimbangan yang rumit antara melindungi industri dalam negeri dan mempromosikan perdagangan. Hal itu terjadi saat negosiasi PTA antara Indonesia dan Bangladesh yang dimulai dengan pertemuan pertama TNC pada Desember 2018.
Di pertemuan kedua Pada Juli 2019, Indonesia mengajukan daftar permintaan 309 produk ke Bangladesh yang ingin dilihat penurunan tarifnya. Bangladesh mengajukan 301 daftar permintaan produk ke Indonesia, antara lain garmen siap pakai (pakaian dan aksesoris), kulit dan produk kulit, obat-obatan, produk rami dan rami serta elektronik.
Indonesia Kemudian diusulkan Kesepakatan tersebut akan ditandatangani pada Pameran Dagang Indonesia ke-37 pada 19-23 Oktober 2022. Namun, Dhaka menuntut revisi daftar barang-barang di mana barang-barang Bangladesh dapat diberikan keuntungan pajak, termasuk garmen Jakarta. Barang-barang yang dialokasikan untuk pengurangan tarif. Permintaan ini wajar mengingat Bangladesh adalah eksportir garmen terbesar kedua di dunia, setelah China, dari total ekspor. Sepadan $35,8 miliar pada tahun 2021.
Namun, pengurangan bea pada garmen Bangladesh mempermalukan pemerintah Indonesia. Jakarta berkomitmen untuk mempromosikan perdagangan bebas melalui PTA, tetapi ingin melindungi beberapa industri dalam negeri, seperti pabrik garmen, dari persaingan impor berbiaya rendah karena pentingnya bagi perekonomian.
Pakaian Bangladesh terbukti sangat kompetitif di pasar Indonesia. Impor pakaian jadi Indonesia dari Bangladesh diperkirakan akan meningkat 194 persen dari $25,6 juta pada tahun 2013 menjadi $75,2 juta pada tahun 2022, merupakan 68 persen dari total impor pakaian jadi. Kenaikan ini meski tarif relatif tinggi 20-25 persen.
Memang, Indonesia telah mengalami peningkatan defisit perdagangan pakaian jadi dengan Bangladesh, melebar dari $24,7 juta pada tahun 2013 menjadi $75,6 juta pada tahun 2022. Namun, pada periode yang sama, Indonesia menikmati surplus perdagangan tekstil (kapas, benang, kain) dengan Bangladesh. , yang naik dari $93,18 juta menjadi $335,46 juta.
Menurunkan tarif garmen Bangladesh dapat semakin meningkatkan impor, memenuhi tujuan PTA untuk meningkatkan perdagangan. Sebaliknya, hal itu juga dapat menyebabkan pengalihan perdagangan, yang terjadi ketika tarif yang lebih rendah mengalihkan permintaan dari produsen pakaian dalam negeri dan negara lain. Impor berbiaya rendah dapat menurunkan harga, mempersulit produsen dalam negeri untuk mempertahankan margin keuntungan dan, dalam skenario terburuk, membuat mereka gulung tikar.
Menawarkan tarif yang lebih rendah ke Bangladesh dapat dianggap bertentangan dengan upaya Indonesia untuk mengurangi impor garmen. Tugas Keamanan Mulai November 2021 dan seterusnya. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Mendefinisikan Melindungi bea sebagai “tindakan darurat untuk melindungi industri dalam negeri dari peningkatan impor produk apa pun yang dapat atau dapat menyebabkan kerugian serius bagi industri”. Ini adalah bea masuk tambahan yang dipungut sementara di atas tarif normal untuk mendukung industri dalam negeri.
Berdasarkan Harmonized System (HS), sistem klasifikasi produk untuk mengidentifikasi barang dagangan, Indonesia memiliki kewajiban pengamanan untuk 134 item sandang (berdasarkan HS 61 dan 62). Tarif berkisar dari Rp 19.260 hingga Rp 63.000 per potong untuk tahun pertama, secara bertahap menurun pada tahun kedua dan ketiga. Impor dari semua negara kecuali penutup kepala dan dasi dari 122 negara berkembang, termasuk Bangladesh, dikenakan tarif.
Waktu yang tepat untuk menurunkan tarif garmen Bangladesh adalah setelah berakhirnya bea pengamanan pada tahun 2024. Namun, di bawah aturan WTO, penilaian kinerja industri dapat melampaui periode tiga tahun.
Pilihan lainnya adalah mengizinkan tingkat pengurangan tarif yang dapat ditoleransi untuk garmen Bangladesh di bawah PTA, sambil terus mengenakan bea pengamanan sampai habis masa berlakunya. Pengurangan tarif lebih lanjut dapat dinegosiasi ulang dalam tinjauan PTA dalam kerangka waktu yang disepakati setelah penerapannya.
Pilihan ini akan lebih mencerminkan komitmen Indonesia untuk menciptakan PTA yang saling menguntungkan dengan Bangladesh. Menurunkan tarif garmen bisa menjadi kemenangan bagi Bangladesh, kemenangan bagi Indonesia, karena surplus perdagangan tekstil yang besar.
Penandatanganan PTA akan memungkinkan produk Indonesia lainnya seperti minyak kelapa sawit, ikan, rempah-rempah, kayu dan produk kayu, elektronik dan kereta api untuk mendapatkan akses yang lebih besar ke pasar Bangladesh. Pada saat yang sama, pemerintah perlu meyakinkan pemangku kepentingan dalam negeri bahwa PTA tidak mau mengorbankan satu sektor untuk kepentingan sektor lainnya.
Terlepas dari kebuntuan pakaian, Indonesia dan Bangladesh harus menemukan cara untuk mencapai kompromi dan menyelesaikan PTA dalam waktu singkat.
More Stories
Ringkasan: Anantara Resort di Indonesia; Tampa Hyatt sedang bergerak
Telin dan Indosat bermitra untuk meningkatkan konektivitas Indonesia dengan ICE System 2
Vaisala akan memodernisasi 14 bandara di Indonesia