Korea Selatan dilaporkan setuju untuk mengurangi bagian finansial Indonesia dalam proyek pengembangan jet tempur bersama KF-21 setelah berulang kali penundaan pembayaran dari negara Asia Tenggara tersebut.
Administrasi Program Akuisisi Pertahanan (DAPA) mengumumkan pada 16 Agustus bahwa kontribusi Indonesia telah berkurang dari 1,6 triliun won (kira-kira $1,2 miliar) menjadi 600 miliar won (kira-kira $440 juta), Yonhap melaporkan.
Program KF-21, yang diluncurkan pada tahun 2015, bertujuan untuk mengembangkan jet tempur supersonik yang canggih. Indonesia awalnya berjanji untuk menanggung 20 persen dari perkiraan biaya proyek sebesar 8,1 triliun.
Namun, karena kesulitan keuangan yang diperburuk oleh pandemi Covid-19 dan dampaknya, Indonesia hanya mampu mengucurkan dana sekitar $400 miliar hingga saat ini.
Mengingat krisis ekonomi dan tantangan dalam memenuhi jadwal pembayarannya, negara ini berupaya untuk mengurangi kewajiban fiskalnya secara signifikan. Pada bulan Mei, Korea Selatan mulai merevisi usulan Indonesia untuk mengurangi kewajiban tarif dan kini secara resmi menyetujui persyaratan yang direvisi.
DAPA mengatakan keputusannya untuk mengakomodasi permintaan Indonesia dipengaruhi oleh sejumlah faktor, termasuk pentingnya menjaga hubungan bilateral yang kuat dan prosedur untuk menutupi kekurangan finansial yang diakibatkannya.
Perusahaan mengatakan, “Kami mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti hubungan bilateral antara kedua negara dan apakah kami dapat mengisi kesenjangan pendanaan. Setelah menyelesaikan perjanjian pembagian biaya baru dengan Indonesia, kami akan fokus untuk memenuhi harapan masyarakat dengan berhasil menyelesaikan proyek tersebut.
Seiring dengan berkurangnya kontribusi finansial, manfaat yang terkait dengan transfer teknologi ke Indonesia juga akan berkurang secara proporsional.
Meskipun DAPA belum merinci bagaimana transfer teknologi akan disesuaikan, dampak keterlibatan Indonesia dalam program ini secara keseluruhan akan signifikan.
Pengaturan pendanaan yang direvisi berarti bahwa para pemangku kepentingan Korea, termasuk pemerintah Korea Selatan dan Korea Aerospace Industries (KAI), harus menanggung bagian yang lebih besar dari biaya proyek.
Awalnya, pemerintah Korea dan KAI masing-masing bertanggung jawab sebesar 60 persen dan 20 persen dari total biaya proyek. Dengan angka yang disesuaikan, mitra Korea akan menghadapi peningkatan beban keuangan sekitar 500 miliar won untuk menyelesaikan proyek sesuai tenggat waktu yang direncanakan pada tahun 2026.
Namun, ada pejabat Korea Diidentifikasi Cara untuk mengurangi total biaya proyek menjadi 7,6 triliun, yang akan membantu mengurangi dampak finansial terhadap peserta di Korea.
Kontroversi seputar intervensi Indonesia
Program jet tempur KF-21 telah lama mendapat perhatian negatif karena Indonesia terus-menerus menunda pembayaran, bahkan kemungkinan ada negara lain yang ikut campur untuk menutupi kewajiban keuangannya.
Perkembangan baru ini menunjukkan bahwa keputusan Korea Selatan untuk mengurangi kontribusi keuangannya kepada Indonesia akan meringankan beberapa permasalahan ini.
Korea Selatan bertujuan untuk mengatasi keterlambatan pembayaran yang mengganggu proyek tersebut dengan menyetujui untuk mengurangi tanggung jawab keuangan Indonesia. Penyesuaian ini diharapkan dapat mencegah permasalahan lebih lanjut terkait keuangan.
Namun, pengurangan pendanaan di Indonesia akan berdampak langsung pada transfer teknologi dan peluang pengembangan yang tersedia bagi para insinyur dirgantara Indonesia.
Awalnya ada proyek KF-21 dibayangkan Hal ini merupakan komponen kunci dalam meningkatkan kemampuan perusahaan dirgantara negara PT Dirgantara Indonesia (PT DI) untuk memberikan Indonesia wawasan berharga dalam pengembangan pesawat tempur.
Sejak tahun 2011, PT DI menjadi mitra industri dalam proyek KF-21 dengan fokus mengembangkan keahliannya di bidang teknologi dirgantara.
Namun, besarnya kontribusi finansial akan mengurangi tingkat transfer teknologi dari Korea Selatan, sehingga membatasi akses PT DI terhadap pengetahuan pengembangan tempur tingkat lanjut.
Selain itu, peluang bagi para insinyur Indonesia untuk mendapatkan pengalaman di bidang manufaktur pesawat terbang—keterampilan yang berbeda dengan pengembangan—akan berkurang.
Saat ini PT DI tidak memproduksi jet tempur atau bagiannya, melainkan fokus pada helikopter dan pesawat berpenggerak baling-baling. Akibatnya, peran Indonesia dalam program KF-21 berisiko menjadi “sekadar pelanggan”.
Selain itu, keputusan untuk mengurangi beban keuangan Indonesia muncul setelah peninjauan baru-baru ini terhadap kemitraan tersebut, termasuk penyelidikan atas tuduhan bahwa insinyur Indonesia mungkin telah mencuri data sensitif KF-21 saat bekerja di Korea Selatan.
Meskipun hasil investigasi ini masih belum pasti, hal ini masih membayangi kelanjutan partisipasi Indonesia dalam program ini.
Pembelian 48 jet tempur Dassault Rafale oleh Indonesia dan nota kesepahaman untuk 24 Boeing F-15EX telah menambah ketidakpastian ini dan menimbulkan pertanyaan tentang komitmen Indonesia terhadap program KF-21.
Terlepas dari tantangan-tantangan ini, proyek KF-21 terus bergerak maju. Unit pertama dijadwalkan akan dikirim ke Angkatan Udara Korea Selatan pada akhir tahun 2026.
Pada bulan Juli, Korea Aerospace Industries (KAI) secara resmi memulai produksi di pabriknya di Sacheon, Provinsi Gyeongsang Selatan, dan menandatangani kontrak senilai 1,96 triliun won dengan DAPA untuk memproduksi 20 jet KF-21 pada tahun 2027.
Selain itu, Korea Selatan berencana membangun 120 pesawat KF-21 pada tahun 2032 untuk meningkatkan kemampuan militernya dan meningkatkan posisinya di pasar ekspor senjata.
“Penggemar perjalanan. Pembaca yang sangat rendah hati. Spesialis internet yang tidak dapat disembuhkan.”
More Stories
Ringkasan: Anantara Resort di Indonesia; Tampa Hyatt sedang bergerak
Telin dan Indosat bermitra untuk meningkatkan konektivitas Indonesia dengan ICE System 2
Vaisala akan memodernisasi 14 bandara di Indonesia