Uang Pasifik | ekonomi | Asia Tenggara
Langkah ini mengikuti penggunaan sanksi ekspor yang semakin agresif oleh Jakarta untuk mencapai tujuan ekonomi domestik.
sebagai Reuters melaporkan, Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo baru-baru ini mengumumkan bahwa negaranya akan melarang ekspor bauksit pada bulan Juni tahun ini. Bauksit merupakan masukan penting dalam banyak produk industri, termasuk aluminium, semen, dan berbagai bahan kimia. Larangan tersebut bertujuan agar bauksit yang ditambang di Indonesia digunakan sebagai input dalam kegiatan industri di dalam negeri, bukan diekspor dan menjadi nilai tambah di negara lain.
Langkah ini mengikuti penggunaan sanksi ekspor Indonesia yang semakin agresif untuk mencapai tujuan ekonomi domestik. Tahun lalu kami melihat larangan sementara oleh pemerintah Batu bara Dan minyak kelapa sawit Ekspor untuk meredam defisit domestik di tengah tingginya harga komoditas global. Dan negara memiliki relatif berhasil Pemanfaatan pembatasan ekspor bijih nikel yang belum diproses mempercepat investasi dalam kegiatan hilir bernilai tambah tinggi seperti peleburan.
Larangan ekspor bauksit jelas meniru larangan ekspor bijih nikel. Indonesia memiliki BUMN besar yang berperan besar dalam industri aluminium dan semen dalam negeri. Tujuan pelarangan ekspor bauksit adalah untuk memaksa investasi yang lebih besar dalam kegiatan industri dengan nilai tambah yang lebih tinggi oleh perusahaan domestik tersebut dan lainnya.
Tetapi ada alasan untuk mempertanyakan apakah Indonesia dapat memperlakukan bauksit dengan cara yang sama seperti nikel dan mengharapkan hasil yang serupa. Indonesia memiliki kekuatan pasar yang sangat kecil dalam hal bauksit. Seperti yang tertera di dalamnya Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), hingga 2021, Indonesia hanya memiliki 3,75 persen cadangan bauksit global dan hanya 4,6 persen produksi global. Pada tahun 2020, sebagai perbandingan, Indonesia menyumbang sekitar 30 persen dari produksi nikel dunia. USGS juga mencatat bahwa “Amerika Serikat dan negara-negara penghasil aluminium utama lainnya memiliki sumber daya sub-ekonomi aluminium yang tidak ada habisnya dalam bahan selain bauksit.”
Hal ini membatasi kemampuan Indonesia untuk menggunakan larangan ekspor bauksit sebagai sarana untuk merangsang investasi dalam kegiatan industri dalam negeri seperti peleburan aluminium. Salah satunya, setidaknya menurut USGS, bauksit sangat mudah diganti. Lebih penting lagi, kemampuan Indonesia untuk menangkap investasi telah dibatasi oleh pelarangan ekspor bauksit secara sepihak, karena negara-negara seperti Australia dan China bertanggung jawab atas sebagian besar produksi global. Pembeli bauksit Indonesia dapat beralih ke Australia atau pemasok global utama lainnya, daripada dipaksa berinvestasi di fasilitas pemrosesan Indonesia.
Pemerintah mengirim telegram bahwa ia ingin menggunakan pembatasan ekspor secara lebih agresif untuk mengalihkan kendalinya atas bahan mentah ke dalam kegiatan ekonomi yang lebih bernilai tambah. Itu motivasi yang bisa dimengerti, dan tipe ini Nasionalisme ekonomi Meningkat di seluruh wilayah dan umumnya di seluruh dunia. Tetapi larangan ekspor harus didasarkan pada semacam logika ekonomi makro atau pemikiran strategis.
Ada logika yang cukup jelas ketika Indonesia melarang ekspor batu bara, minyak sawit, dan bijih nikel. Mengontrol sebagian besar produksi global barang-barang ini, pemerintah dapat menuntut hal-hal tertentu, seperti investasi dalam produksi dalam negeri yang bernilai tambah lebih tinggi atau kegiatan industri. Dengan kata lain, pemerintah memiliki daya ungkit untuk mengintervensi pasar dan memaksanya untuk melayani kepentingan nasional. Tetapi dengan kurang dari 5 persen produksi bauksit global, tidak jelas apakah pemerintah memiliki pengaruh yang sama dan dapat membengkokkan pasar sesuai keinginannya dengan cara yang sama.
More Stories
Ringkasan: Anantara Resort di Indonesia; Tampa Hyatt sedang bergerak
Telin dan Indosat bermitra untuk meningkatkan konektivitas Indonesia dengan ICE System 2
Vaisala akan memodernisasi 14 bandara di Indonesia