Pada 2 Juli 2022, Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengumumkan status beberapa situasi darurat untuk penyakit mulut dan kuku yang sangat menular pada ternak. Selain itu, tingkat notifikasi mencakup enam poin tambahan, yaitu:
-
Penetapan status darurat tertentu penyakit mulut dan kuku.
-
Beberapa tindakan tanggap darurat.
-
Buka akses untuk mendukung fungsi respons yang disebutkan pada poin sebelumnya.
-
Apabila diperlukan, pemerintah daerah dapat mengumumkan keadaan darurat tertentu ke daerahnya masing-masing.
-
Semua biaya yang dikeluarkan melalui deklarasi dan tanggapan tersedia dari dana dalam negeri dan/atau dana BNPB.
-
Pemberitahuan ini akan berlaku mulai 2 Juli 2022 hingga 31 Desember 2022.
Keadaan darurat telah diumumkan karena tingginya tingkat penyakit kaki dan mulut, atau PMK, yang dilaporkan di seluruh Indonesia. Hingga Juli, BNPB melaporkan 233.370 kasus aktif PMK di 246 kecamatan di 22 provinsi Indonesia. Berdasarkan data Pusat Krisis Pertanian, Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi dengan PMK tertinggi dengan 133.460 kasus. Provinsi Nusa Tenggara Barat 48.246 kasus, Jawa Timur 33.178 kasus, Provinsi Aceh 32.330 kasus dan Jawa Barat 32.178 kasus.
Sebelum deklarasi tersebut, Indonesia telah bebas PMK sejak tahun 1986 dan diakui secara internasional oleh World Organization for Animal Welfare pada tahun 1990. Data Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) menunjukkan bahwa PMK pertama kali dicurigai di peternakan sapi dan peternakan pekarangan. Sapi perah di 2 provinsi: Pada 12 April 2022, empat kabupaten di Provinsi Jawa Timur terkena dampak: Mojokerto, Sidorjo, Grasik, Lamongan (1.641 ekor terkena dampak) dan di Provinsi Aceh pada 22 April 2022 (1.855 ekor terkena dampak). Di kedua provinsi tersebut, PMK telah dikonfirmasi oleh OIE pada 6 Mei 2022. Di provinsi-provinsi ini, OIE melaporkan bahwa tanda-tanda klinis hewan yang pertama kali diamati oleh petugas lapangan adalah kehilangan nafsu makan, air liur berlebihan, pincang dan demam berkurang.
Meskipun PMK tidak secara langsung mempengaruhi kesehatan manusia, ada risiko kehilangan mata pencaharian karena kematian ternak dan penurunan harga secara tiba-tiba. Berdasarkan Kementerian Pertanian RI, populasi hewan ternak pada tahun 2020 sebanyak 18,8 juta ekor sapi potong dan sapi perah. Sehingga menjadikan ternak sebagai salah satu aset berharga bagi masyarakat di Indonesia dan dijadikan sebagai tabungan/investasi. Potensi kerugian ekonomi dari wabah PMK sekitar Rp 9,9 triliun/USD 6,6 miliar per tahun karena penurunan produksi, kematian ternak, dan pelarangan dan pembatasan ekspor material. Di peternakan, dampak dapat terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari hilangnya ternak seluruhnya hingga kematian hewan atau hilangnya sebagian ternak yang mempengaruhi pendapatan peternakan. Selain kehilangan sapi, kenaikan berat badan sapi yang meningkat atau produksi susu yang berkurang mengurangi pendapatan peternak dan meningkatkan biaya perawatan dan risiko arus kas karena penjualan yang tertunda. Keadaan ini pada akhirnya dapat mempengaruhi kualitas hidup masyarakat dalam jangka panjang yang berkaitan dengan penurunan tingkat kesehatan masyarakat akibat penurunan sumber protein dari susu dan daging.
More Stories
Ringkasan: Anantara Resort di Indonesia; Tampa Hyatt sedang bergerak
Telin dan Indosat bermitra untuk meningkatkan konektivitas Indonesia dengan ICE System 2
Vaisala akan memodernisasi 14 bandara di Indonesia